WWW.INDONESIACERDASNEWS.COM ||SEMARANG, — Awal bulan November 2025 Keluarga Besar Marhaenis Provinsi Jawa Tengah memperingati Hari Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan dengan mengadakan diskusi KAMAR (Kajian Marhaenisme) bertajuk “Membangun Militansi Perjuangan Pemuda Untuk dan Bersama Kaum Marhaen”.
Acara yang digelar di Gedung Juang 45 lantai 5 Jalan Pemuda no. 163 Semarang tanggal 1 November 2025 itu dihadiri anggota dan pengurus Keluarga Besar Marhaenis (KBM) dari berbagai kota di Jawa Tengah, anggota Organisasi seazas seperti Kesatuan Buruh Marhaenis (KBM), Gerakan Marhaenis (GEMA), Gerakan Pembumian Pancasila (GPP), pemerhati gerakan Marhaenisme dan para ketua KBM Kota/ Kabupaten serta beberapa koordinator wilayah KBM Jawa Tengah.
Joko Susilo SM Ketua Fraksi PDI Perjuangan Kota Semarang, Anggota komisi A yang membidangi hukum dan pemerintahan menjadi narasumber tunggal dalam acara diskusi panel tersebut. Moderator Wendy Andriyanto, SE, Wakil Sekretaris DPP KBM Provinsi Jawa Tengah.
Dalam sambutan pembukaannya, dokter Adhi Kuntoro, MKes.ARS selaku Ketua Dewan Pimpinan Provinsi (DPP) KBM Provinsi Jawa Tengah antara lain mengatakan bahwa memperingati hari Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan perlu dilakukan agar kita tidak melupakan sejarah perjuangan bangsa dan sekaligus dapat memetik hikmah dari momentum yang patut diteladani dan dijadikan pegangan bagi anak bangsa membangun masa depan, Jas Merah. “Diskusi Kamar, atau Diskusi Kajian Marhaenisme merupakan kegiatan rutin Keluarga Besar Marhaenis Provinsi Jawa Tengah yang bertujuan untuk memperdalam pemahaman tentang Marhaenisme Ajaran Soekarno. Berbagai narasumber yang berkompeten senantiasa kita hadirkan dalam diskusi Kamar agar para peserta semakin matang dalam memahami anatomi Marhaenisme, “ kata Adhi Kuntoro, “Diskusi yang kami gelar terbuka untuk umum, khususnya untuk mereka yang ingin lebih mengenal dan memahami apa itu Marhaen, Marhaenis dan apa itu Marhaenisme,” lanjut Adhi Kuntoro.
Joko Susilo dalam paparannya lebih banyak membincangkan sepak terjangnya sejak muda khususnya di dalam perjuangan “ngopeni wong cilik” atau memperjuangkan “wong cilik” termasuk kaum Marhaen. Joko “Ambon”, demikian sapaan akrab dari Joko Susilo, tidak hanya berjuang untuk kaum Marhaen dalam kapasitasnya sebagai anggota dewan yang selalu kritis mengawal anggaran agar dapat tepat sasaran ke masyarakat yang tidak mampu, baik saat perencanaan sebelum diputuskan sampai mengawal memonitor pelaksanaannya dan berbagai upaya lain. Namun Joko “Ambon” juga berjuang untuk dan bersama kaum Marhaen.
“Saya sering berada di pasar – pasar di Semarang, selain mendengar aspirasi juga melakukan bantuan, membebaskan sewa lahan untuk warga yang tidak mampu, membuka lahan jual untuk ribuan UMKM di daerah Kalibanteng dan Sampoo Kong, mendampingi pada pedagang kaki lima dan lain – lain, “kata Joko Susilo.
“Kita perlu juga sering berdiskusi dengan siapa saja untuk mencari ide, strategi,dan upaya gerakan agar gerakan memperjuangkan wong cilik terealisasi. Tidak ada gunanya kita memakai seragam mentereng, meneriakkan slogan yel – yel organisasi tapi tidak terdengar dan terlihat gerakannya. Kita perlu membuat menyusun gerbong yang kuat dahulu agar gerakan kita dilirik , diakui keberadaannya. Lakukan gerakan tersebut secara konsisten, berkomitmen dan yakin bahwa apa yang Kita lakukan adalah hal yang benar untuk wong Cilik , “ kata Joko Susilo menggambarkan seseorang yang militan.
Diskusi yang berlangsung hangat banyak yang menyoroti tentang peran pemuda saat ini, dan menyoroti juga banyaknya organisasi yang mengatasnamakan pemuda namun pengurusnya sudah tidak layak lagi disebut pemuda. Banyak pula yang menyoroti kiprah organisasi pemuda yang “jalan di tempat” dan sulit menemukan dimensi militansi dalam diri pemuda saat ini .
“Kenapa bisa terjadi kondisi seperti ini tidak seperti pemuda di jaman perjuangan dulu, banyak yang militan,” kata salah seorang peserta.
Peserta lain menilai bahwa dengan memilih Demokrasi Liberal seperti saat ini memang sulit muncul gerakan atau personel yang militan. “Demokrasi Liberal menyediakan ruang publik sebagai arena tempat semua urusan diselesaikan secara diskursif. Dalam demokrasi Liberal tidak ada kepastian yang diperjuangkan secara militan. Semua adalah keserbamungkinan yang masih mungkin berubah dalam percakapan publik. Demokrasi Liberal mampu menetralisasi political sekaligus militansi, “ kata seorang peserta.
“Untuk menjadi militan seperti Pak Joko perlu memiliki keyakinan dan dedikasi tinggi (komitmen). Namun apabila seseorang mempunyai komitmen terhadap sesuatu yang tidak dia yakini maka seseorang tidak dapat dikatakan militan,” kata peserta yang lain. (AgS)















