Lembaga Kebudayaan Nasional Soroti Penolakan Pembangunan Gereja

IMG-20220911-WA0188

www.indonesiacerdasnews.com –

Lembaga Kebudayaan Nasional ( LKN ) Kota Semarang mengadakan acara diskusi kebudayaan rutin di Rumah Kebangsaan Jalan Kyai Saleh 13 Semarang pada Minggu, 11 September 2022.

Acara yang dihadiri berbagai organisasi kemasyarakatan seperti LKN, Keluarga Besar Marhaenis ( KBM ) Provinsi Jawa Tengah, Alumni Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia ( GMNI ) Jateng, kelompok dokter NKRI Sehat Jateng, Formasi, Bogang Kudus, Pusat Kajian Pancasila, Seniman dan Pemerhati Kebudayaan – Kesenian itu mengambil tema ” Diskusi Kebudayaan dan Gerakan Radikal di Indonesia ” dengan narasumber dokter Widoyono MPH.

Dra Oerip Letari D Santoso,M.Si selaku penasehat Lembaga Kebudayaan Nasional ( LKN ) Kota Semarang dalam sambutannya antara lain mengatakan, beberapa kali kita dikejutkan aksi-aksi teror yang memporak-porandakan kehidupan berbangsa dan bernegara kita dengan aksi-aksi yang ditampilkannya, antara lain dengan ledakan-ledakan bom seperti pernah terjadi di tanah air kita, yang mengorbankan banyak jiwa melayang.

Apakah budaya bangsa kita itu dekat budaya yang penuh kesatuan, mengutamakan kebersamaan, saling menghargai sesama seperti yang sering kita dengar, ataukah budaya kita itu adalah beringas, senang tawur bersumbu pendek. Adakah yang salah dengan diri kita, diri orang lain atau sebenarnya bangsa kita ini memang beringas.”

Menurut Mbak Oeoel, panggilan akrabnya Dra Oerip Letari D Santoso, M.Si, ancaman teror atau perilaku beringas tersebut tampaknya hingga kini belum juga menampakkan perubahan baik kualitas maupun kuantitas keberingasannya, dan kaum nasionalis perlu mewaspadainya terlebih saat ini sudah berada di tahun-tahun politik menjelang Pilpres 2024.

Apakah bangsa kita itu bangsa yang sangat berperikemanusiaan atau bangsa yang dekat dengan kekerasan ? Dr Agung Sudarmanto, MM Ketua LKN Kota Semarang yang sekaligus memandu acara diskusi, antara lain mengatakan bahwa bangsa Indonesia memiliki sejarah kemanusiaan yang bagus dan juga memiliki sejarah kekerasan.

” Sejarah Republik Indonesia pernah menunjukkan kesungguhannya mengemban misi kemanusiaan dengan membentuk POPDA ( Panitia Oeroesan Pengangkoetan Djepang dan APWI ) dengan tugas untuk melaksanakan pengangkutan tentara Jepang dan evaluasi APWI ( Allied Prisoners of War and Internees ) dari daerah kekuasaan RI ke daerah kekuatan Sekutu. Konon, POPDA mampu mengangkut tentara Jepang yang berjumlah 35 ribu orang dan telah diselesaikannya pada tanggal 18 Juni 1946 dan APWI yang berjumlah sekitar 28 ribu orang dengan sukses, sementara sejarah kekerasan juga memiliki jejak sejarah yakni sejarah Petrus ( Penembak Misterius ), penyerbuan secara brutal terhadap kantor DPP PDI pada peristiwa Sabtu Kelabu,27 Juli 1986, tragedi Santa Cruz ( Dilli ), Nipah ( Madura ), dan Jengawah ( Jember ) serta peristiwa 27 Maret 1980.”

” Dengan adanya ladang tumbuh kekerasan di negeri kita ditambah dengan gerakan radikal yang semakin menampakkan batang hidungnya, masih nyamankah pelaku budaya kita berekspresi?” tanya Agung sebelum dimulai paparan diskusi Kebudayaan dan Gerakan Radikal di Indonesia.

Sejarah gerakan radikalisme hingga saat ini dengan berbagai perangainya dipaparkan secara detail oleh dr Widoyono MPH selaku narasumber utama dalam diskusi tersebut
Naik turunnya dan kamuflase gerakan radikal disinggung dan perlu diwaspadai.

” Kita harus melihat gerakan-gerakan itu secara fenomenalogis dan perkembangan politik global saat ini. Terdapat gerakan yang selama ini dianggap berbahaya namun sebenarnya hanya mempunyai kekuatan minimal, namun terdapat pula organisasi yang gerakannya halus namun mempunyai hidden agenda yang mengancam keutuhan NKRI,” kata Widoyono.

Diskusi yang membahas tentang kebudayaan dan gerakan radikal itu meluas pada penilaian sikap masyarakat Indonesia terhadap radikalisme dan gerakan-gerakan intoleran lainnya.

Beberapa peserta memberi masukan sehubungan dengan maraknya intoleransi yang terjadi di Indonesia, antara lain Pemerintah baik pusat maupun daerah, Agamawan, kaum nasionalis hendaknya jangan memberikan ruang gerak sedikit pun bagi kaum intoleran menjalankan aksinya.

” Pilkada DKI yang brutal dan sangat menciderai demokrasi, politik identitas, masuknya materi-materi intoleran di dalam buku-buku pelajaran sekolah, perilaku Wali Kota dan Wakil Wali Kota Cilegon yang menolak pembangunan gereja HKBP, dan masih banyak contoh.
Harusnya kita sebagai bangsa yang concern pada Pancasila bersuara lantang menyikapi tindakan intoleran itu. Kita lawan radikalisme dan intoleransi sejak dini, jangan beri ruang gerak!!” kata seorang peserta berapi-api.

Dalam menutup acara diskusi, Agung Sudarmanto menjelaskan bahwa Lembaga Kebudayaan Nasional adalah lembaga kebudayaan yang berazaskan Marhaenisme, ajaran Soekarno yang concern terhadap pemberdayaan kebudayaan dan kesenian rakyat Marhaen. [ Red ]