WWW.INDONESIACERDASNEWS.COM ||MAGELANG – Anggota DPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia dan Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo dalam kunjungannya ke pabrik rokok merek HS yang diproduksi oleh Surya Group Holding Company milik pengusaha muda Muhammad Suryo, menuturkan industri rokok di Indonesia telah lama menjadi salah satu pilar dalam menunjang perekonomian nasional. Di tengah semakin ketatnya regulasi dan kesadaran masyarakat akan bahaya kesehatan akibat merokok, kontribusi sektor ini terhadap pendapatan negara dan penyerapan tenaga kerja sulit untuk diabaikan. Dengan lebih dari 6 juta orang yang terlibat dalam industri rokok, baik sebagai petani, pekerja pabrik, maupun pedagang, sektor rokok memberikan dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan banyak keluarga di seluruh Indonesia.
Rokok HS yang diproduksi di Magelang, Jawa Tengah, adalah merek rokok kretek yang sedang naik daun di Indonesia. Merek ini memiliki beberapa varian rasa, seperti HS Original, HS Slim, dan HS Click dengan rasa beragam buah-buahan. Rokok HS juga dikenal sebagai produk legal yang mendukung perekonomian dan mengurangi peredaran rokok ilegal.
“Industri rokok memiliki peran yang kompleks dalam perekonomian Indonesia. Di satu sisi, sektor ini memberikan kontribusi yang signifikan dalam hal pendapatan dan lapangan kerja. Di sisi lain, tantangan kesehatan dan kebijakan yang semakin ketat menuntut inovasi dan penyesuaian dari para pelaku industri. Penting bagi pemerintah dan kalangan industri untuk bersama mencari solusi yang berkelanjutan. Sehingga, antara aspek perekonomian dan kesehatan masyarakat dapat terjaga dengan baik,” ujar Bamsoet saat berkunjung ke Pabrik Rokok HS di Magelang Jawa Tengah, Minggu (29/6/25).
Ketua MPR RI ke-15 dan Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mencatat pada tahun 2024, penerimaan negara dari cukai hasil tembakau (CHT) mencapai lebih dari Rp 232 triliun. Menjadikannya penyumbang terbesar dalam kategori cukai. Jumlah ini mencakup sekitar 9–10% dari total pendapatan negara. Pendapatan dari cukai tersebut digunakan untuk mendanai berbagai program publik, termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), melalui skema earmarking Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT).
“Tidak hanya dari sisi penerimaan negara, sektor ini juga membuka jutaan lapangan kerja. Di hilir, terdapat ratusan ribu buruh pelinting yang bekerja di pabrik-pabrik rokok manual, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di hulu, jutaan petani tembakau dan cengkeh menggantungkan nasibnya pada keberlanjutan industri ini. Belum lagi sektor distribusi, logistik, warung kelontong, dan pengecer yang merasakan manfaat ekonomi dari penjualan rokok,” kata Bamsoet.
Ketua Komisi III DPR RI dan Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia ini menambahkan, industri rokok kini menghadapi tekanan yang tidak ringan. Kenaikan tarif cukai rokok pada 2024 sebesar rata-rata 10 persen, memicu kekhawatiran akan melonjaknya peredaran rokok ilegal. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mencatat bahwa sepanjang tahun 2023, berhasil menggagalkan penyelundupan lebih dari 600 juta batang rokok ilegal. Potensi kerugian negara yang bisa ditimbulkan mencapai Rp 820 miliar. Tingginya tarif cukai yang tidak diimbangi dengan pengawasan ketat di lapangan berisiko menekan produsen legal, sekaligus memberi celah bagi pasar rokok ilegal tumbuh subur.
Persoalan lainnya adalah tekanan dari kampanye global anti tembakau dan regulasi nasional yang semakin ketat. Termasuk wacana revisi PP 109/2012 yang memperluas larangan iklan dan promosi rokok. Kebijakan tersebut jika tidak dibarengi dengan kajian dampak ekonomi yang komprehensif, berpotensi mengikis sektor padat karya dan mengganggu ekosistem usaha kecil yang bergantung pada distribusi rokok.
“Ke depan yang dibutuhkan bukan hanya regulasi yang tegas, tetapi juga kebijakan yang adil, akomodatif, dan berbasis data. Regulasi perlu diarahkan bukan hanya untuk pengendalian konsumsi rokok semata, namun juga untuk menjaga keberlangsungan ekonomi, pendapatan fiskal, dan perlindungan terhadap kelompok masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada industri ini,” pungkas Bamsoet. (Ded)