WWW.INDONESIACERDASNEWS.COM ||JAKARTA — Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual dalam rangka menyetujui 2 (Dua) permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada Rabu, 7 Mei 2025.
Adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Sidik Purnomo alias Pur bin Ashad dari Kejaksaan Negeri Rokan Hulu, yang disangka melanggar Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Kronologi bermula pada Rabu, 19 Februari 2025 sekitar pukul 20.00 WIB, Tersangka mendatangi Korban Inna Nasiyah binti Sriyono, yang saat itu sedang berada di dalam kamar rumahnya sambil bermain handphone. Tersangka sempat mengajak korban untuk melakukan hubungan layaknya suami istri, namun ajakan tersebut ditolak oleh korban.
Setelah penolakan tersebut, Tersangka keluar dari kamar, sementara korban tetap berada di dalam kamar melanjutkan aktivitasnya dengan menggunakan handphone. Tidak lama kemudian, Tersangka mengintip ke dalam kamar melalui jendela dan melihat korban sedang melakukan percakapan melalui pesan singkat dengan pamannya.
Diliputi rasa cemburu, Tersangka kembali masuk ke dalam kamar dan menuduh korban telah berselingkuh. Tersangka kemudian melakukan tindakan kekerasan fisik dengan memukul bagian wajah korban menggunakan tangan kanannya. Tidak berhenti sampai di situ, Tersangka juga menarik tangan korban secara paksa. Saat korban berusaha melepaskan diri dari tarikan tersebut, Tersangka mendorong korban hingga terjatuh dan kepala korban terbentur ke pintu.
Akibat kejadian tersebut, korban mengalami luka dan trauma fisik. Berdasarkan hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam Visum et Repertum Nomor 400.7/PKM-RH/2025/III/VER/207 tanggal 12 Maret 2025 yang dikeluarkan oleh Puskesmas Rambah Hilir II dan ditandatangani oleh dr. H. Rudi Hartono, terdapat bukti adanya kekerasan fisik terhadap korban.
Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Rokan Hulu, Fajar Haryowimbuko, S.H., M.H. dan Kasi Pidum Rendi Panalosa, S.H., M.H. serta Jaksa Fasilitator Destamala Giofanny, S.H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.
Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Saksi Korban. Lalu Saksi Korban meminta agar proses hukum yang dijalani oleh Tersangka dihentikan tanpa syarat.
Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Rokan Hulu mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Riau Akmal Abbas, S.H., M.H.
Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Riau sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Rabu 7 Mei 2025.
Selain itu, JAM-Pidum juga menyetujui perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, terhadap 1 (satu) perkara lain yaitu Tersangka Emi Kurpan Panet bin Nurdin Simbolon dari Kejaksaan Negeri Lubuk Linggau, yang disangka melanggar Pertama Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan atau Kedua Pasal 44 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:
– Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
– Tersangka belum pernah dihukum;
– Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
– Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
– Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
– Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
– Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
– Pertimbangan sosiologis;
– Masyarakat merespon positif.
“Para Kepala Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkas JAM-Pidum.
[Red]
Sumber: (Kepala Pusat Penerangan Hukum)