WWW.INDONESIACERDASNEWS.COM ||JAKARTA, — Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual dalam rangka menyetujui 5 permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada Selasa, 23 September 2025.
Salah satu perkara yang disetujui penyelesaiannya melalui mekanisme keadilan restoratif adalah terhadap Tersangka Vivian Nur Amalianti alias Vivian, dari Kejaksaan Negeri Ende, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Kronologi ini terjadi pada Kamis 17 Juli 2025 sekitar pukul 12.00 WITA di Jl. Katedral RT 002/RW 005, Kelurahan Mbowangani, Kecamatan Ende Selatan, Kabupaten Ende, saat korban Maria Lidwina Albina Lani yang merupakan teman dekat dari tersangka.
Korban diketahui sedang tidur di kamarnya dan diminta uang oleh tersangka sebesar Rp100.000 karena korban memiliki utang kepada Tersangka. Korban tidak ada uang dan mencoba menghubungi sopirnya lewat WhatsApp, namun ponselnya direbut oleh tersangka. Korban kemudian mengejar tersangka ke ruang tamu hingga terjadi perkelahian.
Saat korban Maria Lidwina Albina Lani berusaha merebut hp miliknya, tersangka menendang perut korban sebanyak satu kali, tetapi korban tetap berusaha mengambil kembali ponselnya dan akhirnya berhasil.
Setelah itu, tersangka ditarik oleh saksi Wilhelmina Margaretha Paula dan Sonia Timothy Karmaley ke ruang tengah. Namun, tersangka kembali menyerang korban Maria Lidwina Albina Lani dengan mencakar tangan kanan hingga terluka, memukul pergelangan tangan kiri hingga bengkak dan memar, serta menarik baju korban Maria Lidwina Albina Lani, sebelum akhirnya dilerai oleh saksi Wilhelmina Margaretha Paula.
Akibat dari perbuatan tersangka, berdasarkan hasil Visum Et Repertum Nomor: 130/TU.01/UM/VII/2025 atas nama Maria Lidwina Albina Lani yang dibuat dan ditandatangani oleh dr. Angelina Makin selaku dokter pemeriksa pada Rumah Sakit Umum Daerah Ende tanggal 17 Juli 2025
Hasil pemeriksaan menunjukkan “Telah dilakukan pemeriksaan terhadap korban perempuan a.n. Maria Lidwina Albina Lani, berusia tiga puluh tahun. Pada pemeriksaan luar ditemukan luka lecet pada lengan bawah tangan kanan dan bengkak pada pergelangan tangan kiri, kemerahan pada luka jahitan di perut dan nyeri pada penekanan akibat kekerasan tumpul.”
Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Ende Adi Rifani, S.H., M.H., dan Jaksa Fasilitator Jane Clarita Ma’u, S.H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.
Proses perdamaian telah dilakukan antara Tersangka dan korban pada 10 September 2025. Tersangka belum pernah dihukum, baru pertama kali melakukan tindak pidana, dan menyatakan tidak akan mengulanginya.
Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Ende mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur Zet Tadung Allo, S.H., M.H.
Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Selasa 23 September 2025.
Selain perkara tersebut, JAM-Pidum juga menyetujui penyelesaian perkara melalui mekanisme keadilan restoratif terhadap 4 (empat) perkara lainnya, yaitu:
1. Tersangka Hamzah bin (Alm) Arman Paccida dari Kejaksaan Negeri Bulungan, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
2. Tersangka Sunardy, A. Md. dari Kejaksaan Negeri Karo, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
3. Tersangka Ongku Harahap dari Kejaksaan Negeri Padang Lawas, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
4. Tersangka Erda Nirwana binti Alm. Karullah dari Kejaksaan Negeri Nagan Raya, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:
– Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Para Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
– Para Tersangka belum pernah dihukum;
– Para Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
– Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
– Para Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
– Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
– Para Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
– Pertimbangan sosiologis;
– Masyarakat merespon positif.
“Para Kepala Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkas JAM-Pidum.
(Muhdi Khair/ICN)
Sumber: Kapuspenkum Kejagung