JAM-Pidum Menyetujui 5 Restorative Justice, Salah Satunya Perkara Penadahan di Rokan Hulu

IMG-20250526-WA0129

WWW.INDONESIACERDASNEWS.COM ||JAKARTA– Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual dalam rangka menyetujui 5 (lima) permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada Senin, 26 Mei 2025.

Adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Febrian alias Febri bin Amat dari Kejaksaan Negeri Rokan Hulu yang disangka melanggar Kesatu Pasal 480 ke- 1 KUHP Atau Kedua Pasal 480 ke-2 KUHP tentang Penadahan.

Kronologi bermula pada hari Sabtu, tanggal 18 Januari 2025, sekitar pukul 04.00 WIB di Desa Ngaso, Kecamatan Ujung Batu, Kabupaten Rokan Hulu, tepatnya di kediaman Tersangka Febrian alias Febri bin Amat.
Pada saat itu, Saksi Muliadi (yang perkaranya diproses dalam berkas terpisah) datang ke rumah Tersangka dengan membawa 1 (satu) unit sepeda motor Honda Beat warna putih biru dengan nomor polisi BM 4987 DD, yang diketahui merupakan milik Saksi Korban Iso Safra Graha dan telah dicuri sebelumnya oleh Saksi Muliadi.
Saksi Muliadi kemudian meminta bantuan kepada tersangka untuk mengubah bentuk sepeda motor curian tersebut dengan cara melepas seluruh body motor, agar tidak mudah dikenali dan selanjutnya dapat dijual. Disepakati bahwa hasil penjualan sepeda motor tersebut akan digunakan bersama untuk berfoya-foya, dan apabila terdapat sisa keuntungan, akan dibagi rata antara Saksi Muliadi dan Tersangka.
Tersangka setuju dan segera membantu melepas seluruh body motor. Sekitar pukul 06.00 WIB, Tersangka bersama dengan Saksi Muliadi membawa sepeda motor tersebut menuju wilayah Ujung Batu untuk dijual. Namun, sesampainya di lokasi, keduanya berhasil diamankan oleh pihak Kepolisian.
Sebelumnya diketahui bahwa tersangka tidak memiliki izin atau persetujuan apa pun dari pemilik sah kendaraan, yaitu Saksi Iso Safra Graha, untuk melakukan perubahan bentuk ataupun menjual sepeda motor tersebut.
Sepeda motor tersebut sebelumnya dibeli oleh Saksi Iso Safra Graha dengan harga kurang lebih Rp5.000.000,- (lima juta rupiah). Saat ini, nilai kendaraan diperkirakan berada di bawah Rp2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) akibat kondisi yang telah diubah dan tidak lagi utuh.

Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Rokan Hulu, Fajar Haryowimbuko, S.H., M.H., Kasi Pidum Rendi Panalosa, S.H., M.H. serta Jaksa Fasilitator Noprialdy Julian Saputra, S.H. dan Jeffrey Parulian Limbong, S.H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.
Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Saksi Korban. Lalu Saksi Korban meminta agar proses hukum yang dijalani oleh Tersangka dihentikan.
Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Rokan Hulu mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Riau Akmal Abbas, S.H., M.H.

Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Riau sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Senin, 26 Mei 2025.

Selain itu, JAM-Pidum juga menyetujui perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, terhadap 4 (empat) perkara lain yaitu:

1. Tersangka M. Sultan Fadri bin Effendi Wijaya (Alm) dari Kejaksaan Negeri Palembang, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian

2. Tersangka Bambang Prasetyo bin Amin Sugiarjo dari Kejaksaan Negeri Kebumen, yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian

3. Tersangka Gunawan alias Pak Alfin bin Nyaman dari Kejaksaan Negeri Grobogan, yang disangka melanggar Pasal 480 Ayat (1) KUHP tentang Penadahan.

4. Tersangka Muhammad Abadi Lubis alias Lubis bin Muhammad Said dari Kejaksaan Negeri Pelalawan, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.

Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:

– Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;

– Tersangka belum pernah dihukum;

– Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;

– Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;

– Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;

– Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;

– Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;

– Pertimbangan sosiologis;

– Masyarakat merespon positif.

“Para Kepala Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkas JAM-Pidum.

[Red]
Sumber : (Kepala Pusat Penerangan Hukum)