WWW.INDONESIACERDASNEWS.COM ||JAKARTA — Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM-Pidum) Prof. Dr. Asep Nana Mulyana memimpin ekspose virtual dalam rangka menyetujui 6 (enam) permohonan penyelesaian perkara berdasarkan mekanisme Restorative Justice (keadilan restoratif) pada Senin, 16 Juni 2025.
Adapun salah satu perkara yang diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif yaitu terhadap Tersangka Moh Daeng Lanusu dari Kejaksaan Negeri Alor, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Kronologi bermula pada Senin 28 Oktober 2024 pukul 17.00 WITA di Parkiran Pelabuhan Sepeda Motor Alor Kecil yang beralamat di RT 001/RW 001 Desa Alor Kecil, Kecamatan Alor Barat, Kabupaten Alor. Tersangka Moh Daeng Lanusu bersama dengan Korban Maruf Mudiluang, Saksi Riki Maleng dan Saksi Jubaidin Manapa melakukan pekerjaan bongkar muat kapal barang milik penumpang kapal tanpa dilengkapi surat kendaraan bermotor dan bukti kepemilikan yang sah.
Setelah pekerjaan selesai, pemilik kapal memberikan upah sejumlah Rp100.000 (seratus ribu rupiah) yang diberikan melalui Korban untuk dibagikan juga kepada Tersangka, Saksi Riki Maleng dan Saksi Jubaidin Manapa.
Kemudian Korban membagi uang tersebut kepada Tersangka, Saksi Riki Maleng dan Saksi Jubaidin Manapa sejumlah masing-masing Rp20.000 (dua puluh ribu) per orang, namun Tersangka merasa tidak terima karena pembagiannya tidak sesuai dengan pembagian upah kerja yang sebenarnya.
Selanjutnya Tersangka langsung menemui pemilik barang untuk menanyakan soal upah tersebut, namun karena emosi Tersangka menghampiri korban dan langsung mengayunkan pukulan dengan menggunakan tangan kanan dalam kondisi mengepal ke arah dahi bagian kanan sebanyak 1 (satu) kali pukulan dan ke arah mata kanan korban sebanyak 1 (satu) kali pukulan.
Bahwa akibat perbuatan Tersangka menyebabkan Korban Maruf Mudiluang mengalami luka-luka, sebagaimana Visum et Repertum dari Puskesmas Kokar Nomor: PUSK. 445.2/584/2024 tanggal 29 Oktober 2024, yang ditandatangani oleh dr. PETRIANA Th. ASEL- OB.
Hasil Visum et Repertum menyatakan bahwa telah diperiksa seorang laki-laki usia dua puluh depan tahun, tampak lecet pada dahi sebelah kanan, tampak bengkak pada bagian atas alis mata sebelah kanan, tampak bengkak tepat pada sudut alis mata sebelah kanan, tampak memar kebiruan dan bengkak tepat pada kelopak mata bagian bawah mata sebelah kanan, tampak luka lecet pada pipi sebelah kanan, akibat kekerasan benda tumpul.
Mengetahui kasus posisi tersebut, Kepala Kejaksaan Negeri Alor Devi Love M. Oktario Hutapea, S.H., M.H. dan Jaksa Fasilitator Surya Baginda Halomoan Sirait, S.H. menginisiasikan penyelesaian perkara ini melalui mekanisme restorative justice.
Dalam proses perdamaian, Tersangka mengakui dan menyesali perbuatannya serta meminta maaf kepada Saksi Korban. Lalu Saksi Korban meminta agar proses hukum yang dijalani oleh Tersangka dihentikan.
Usai tercapainya kesepakatan perdamaian, Kepala Kejaksaan Negeri Alor mengajukan permohonan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Barat Zet Tadung Allo, S.H., M.H.
Setelah mempelajari berkas perkara tersebut, Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur sependapat untuk dilakukan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif dan mengajukan permohonan kepada JAM-Pidum dan permohonan tersebut disetujui dalam ekspose Restorative Justice yang digelar pada Senin 16 Juni 2025.
Selain itu, JAM-Pidum juga menyetujui perkara lain melalui mekanisme keadilan restoratif, terhadap 5 (lima) perkara lain yaitu:
1. Tersangka I Miraychelle Afrill Yo Tatamang dan Tersangka II Kevin Tolinggi dari Kejaksaan Negeri Bitung, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
2. Tersangka Yulius Wempidius Tafuli dari Kejaksaan Negeri Timor Tengah Selatan, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
3. Tersangka Yanes Bulan dari Kejaksaan Negeri Rote Ndao, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
4. Tersangka Welem Bako dari Kejaksaan Negeri Rote Ndao, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
5. Tersangka T Muhammad Haikal bin Alm. T Nurdin dari Kejaksaan Negeri Simeule, yang disangka melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain:
– Telah dilaksanakan proses perdamaian dimana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
– Tersangka belum pernah dihukum;
– Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana;
– Ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun;
– Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
– Proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan, dan intimidasi;
– Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
– Pertimbangan sosiologis;
– Masyarakat merespon positif.
“Para Kepala Kejaksaan Negeri dimohon untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM-Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum,” pungkas JAM-Pidum.
[Muhdi Khair/ICN]