Goes To Campus, Kejati Kepri Edukasi Mahasiswa STIKES Hang Tuah Tentang Pencegahan TPPO dan Perlindungan Data Pribadi

IMG-20250526-WA0199

WWW.INDONESIACERDASNEWS.COM ||Kejati Kepri, Tanjungpinang — Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau melalui program Pembinaan Masyarakat Taat Hukum (BINMATKUM) pada kegiatan Penerangan Hukum telah melaksanakan “Goes To Campus” di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Hang Tuah Tanjungpinang dengan mengangkat tema tentang “Pencegahan dan Pemberantasan Tindak pidana Perdagangan Orang (TPPO) dan Cyber Crime”, Senin (26/05/2025).

Tim Penerangan Hukum dipimpin oleh Kasi Penerangan Hukum Yusnar Yusuf Hasibuan, SH. MH dengan anggota Tim terdiri dari Rama Andika Putra, Rafki Mauliadi, A.Md.T, dan Syahla Regina.

Kegiatan Penerangan hukum ini bertujuan memberikan pemahaman hukum kepada para Mahasiswa/i, yang merupakan generasi emas penerus bangsa.

Adapun yang bertindak sebagai narasumber adalah Kasi Penkum Kejati Kepri Yusnar Yusuf, S.H. M.H dan Rafki Mauliadi, A.Md.T.
Kasi Penkum Kejati Kepri dalam penyampaian materi tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak pidana Perdagangan Orang (TPPO) menjelaskan bahwa istilah perdagangan orang diambil dari istilah Trafficking in Persons yang terdapat dalam UN Protocol To Prevent, Suppresand punish Trafficking in persons, Expecially women dan children, supplementing the United Nation convertion Againtr Transnational Organized Crime (Protokol Palemo) yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada Tahun 2009.

Perdagangan orang menurut Pasal 1 angka 1 UU RI No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO yaitu “tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”

TPPO dikategorikan sebagai kejahatan berat terhadap hak asasi manusia yang terjadi di seluruh belahan dunia, TPPO merupakan tindak pidana luar biasa (extra ordinary crime), kejahatan lintas negara (transnasional crime) yang sering melibatkan sindikat lintas negara dengan korban terbanyak adalah perempuan dan anak-anak.

Beberapa bentuk TPPO yaitu eksploitasi seksual, perdagangan anak, kerja paksa, perdagangan organ tubuh, perbudakan domestik. Sedangkan modus operandi TPPO yang sering terjadi yaitu rekruitmen / eksploitasi Pekerja Migran Indonesia (PMI), pengantin pesanan, penculikan, perekrutan anak jalanan dan magang pelajar/mahasiswa.

Adapun faktor penyebab TPPO yaitu faktor kemiskinan, pendidikan rendah, kurangnya lapangan kerja, informasi palsu atau menyesatkan, permintaan tinggi untuk pekerja murah dan faktor geografis. Bahwa Provinsi Kepulauan Riau selain merupakan salah satu daerah asal para korban TPPO juga merupakan daerah transit TPPO karena jarak yang begitu dekat wilayah Kepri dengan beberapa negara khususnya Malaysia dan Singapura. Pada tahun 2024 Kepri termasuk dalam 10 Provinsi terbesar penyumbang korban TPPO.
Dampak TPPO menyebabkan korban mengalami trauma, depresi, penyiksaan, pelecehan seksual bahkan kematian, stigma negatif dan dikucilkan masyarakat. Citra negara juga rusak di mata dunia karena dianggap gagal melindungi warganya, kerugian ekonomi akibat hilangnya potensi SDM dan pengeluaran biaya besar dalam menangani kasus TPPO. Diperlukan beberapa upaya dalam pencegahan TPPO yaitu sosialisasi dan edukasi masyarakat secara massif, pengawasan dan pemberantasan situs digital, penguatan kebijakan dan regulasi, peningkatan pendidikan dan keterampilan, pemberdayaan ekonomi, pengawasan terhadap agen tenaga kerja dan penguatan regulasi dan penegakan hukum. Sedangkan untuk memberantas TPPO diperlukan adanya penindakan hukum tegas terhadap pelaku, perlindungan dan rehabilitasi korban, kerjasama nasional dan internasional dan pembentukan gugus tugas pencegahan TPPO sebagaimana yang sudah berjalan dengan baik selama ini termasuk di Kepri.

Narasumber mengharapkan masyarakat berperan aktif dalam pencegahan TPPO dengan cara meningkatkan kesadaran masyarakat tentang TPPO dengan mengikuti program penyuluhan, deteksi dini, memberi informasi dan melaporkan jika terjadi dugaan TPPO, waspada terhadap tawaran kerja mencurigakan dan agar masyarakat turut mendukung para korban TPPO.

Di akhir materinya, Narasumber menyampaikan bahwa perang terhadap TPPO tidak bisa dilakukan sendiri, melainkan harus menjadi gerakan bersama. Oleh karena itu, Kejati Kepri mendorong kolaborasi lintas sektoral baik pemerintah, swasta, masyarakat, LSM nasional maupun internasional untuk memutus mata rantai perdagangan orang.

“TPPO adalah bentuk perbudakan modern. Ini bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga luka kemanusiaan. Sudah saatnya kita lebih peduli dan bertindak bersama,” ujar Kasi Penkum Kejati Kepri.

Melalui penegakan hukum yang tegas, pendekatan perlindungan korban yang berkeadaban, serta sinergi nasional dan internasional, diharapkan Kepri dapat menjadi benteng yang kuat dalam mencegah dan memberantas TPPO.
Kemudian narasumber berikutnya Rafki Mauliadi, A.Md.T menjelaskan materi tentang Cyber Crime. Narasumber memaparkan bahwa Indonesia telah memiliki landasan hukum yang kuat dalam menanggulangi cyber crime. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjadi payung hukum utama dalam penegakan hukum atas pelanggaran di ruang digital. UU ITE mengatur berbagai bentuk pelanggaran digital, termasuk penipuan daring, penyebaran konten ilegal, peretasan sistem, hingga pencemaran nama baik di media elektronik.
Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik memperkuat perlindungan terhadap sistem elektronik, dengan mewajibkan penyelenggara sistem elektronik untuk menjaga keamanan dan integritas data. Pasal 6 menekankan kewajiban keamanan sistem, sedangkan Pasal 16 memuat prosedur penanganan insiden keamanan siber.
Kemudian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) memberikan dasar hukum perlindungan hak individu atas data pribadinya, termasuk hak untuk memberikan persetujuan atas pengumpulan dan penggunaan data (Pasal 15 dan 16), serta hak untuk mengakses dan mengoreksi data yang dikelola oleh pihak lain (Pasal 23).
UU PDP juga mengatur sanksi administratif yang tegas bagi pihak yang melanggar, termasuk denda yang signifikan untuk pelanggaran privasi, yang menunjukkan keseriusan negara dalam menjaga kedaulatan data warganya. Narasumber mengingatkan Peserta, bahwa apapun yang diunggah ke internet berpotensi tidak lagi berada di bawah kendali pribadi, karena bisa disalin, disimpan, dan disebarluaskan tanpa batas. Oleh karena itu, kesadaran sejak dini tentang apa yang dibagikan secara digital menjadi sangat penting.

Di akhir sesi, narasumber mengajak seluruh peserta untuk menjadi “Cyber Cerdas” : yaitu individu yang sadar akan risiko dunia digital, memahami hak dan kewajibannya dalam ruang siber, serta berperan aktif dalam menjaga keamanan siber baik secara pribadi maupun sosial.

“Ketika internet menguasai informasi sensitif pribadi kita, maka tidak ada lagi kontrol atasnya. Oleh karena itu, mari kita lindungi data dan bijaklah di ruang digital,” tutupnya.

Turut hadir pada kegiatan Penerangan Hukum tersebut Wakil Ketua 3 STIKES Hang Tuah Tanjung Pinang Komala Sari, S.Kep., Ns., M.Kep beserta para Dosen pengajar dan Mahasiswa/i sebagai peserta sebanyak 60 orang di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Hang Tuah Tanjungpinang. [Red]

Sumber: Kasi Penkum Kejati Kepri

dto

YUSNAR YUSUF, S.H., M.H.